MADURANEWS.CO, Sampang– Jaring Pukat Harimau masih banyak digunakan oleh nelayan Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur. Namun penegakan hukum terhadap pengguna alat bantu tangkap ikan tersebut masih terkendala dengan Regulasi yang ada.
Kepala Dinas Perikanan Sampang, Wahyu Prihartono Mengatakan, bahwa nelayan pengguna jaring pukat harimau di Kota Bahari yang tertangkap oleh pihak keamanan (Polairud) Sampang tidak dihukum sebagaimana pelanggar-pelanggar aturan yang lain. Artinya sampai saat ini menurut dia, pengguna jaring pukat harimau tersebut hanya diambil jaringnya saja, tidak sama orangnya.
“Pengguna jaringan pukat kan banyak ditangkap, cuma sayangnya enggak bisa ditahan, dan dihukum. Hanya diamankan jaringannya saja, orangnya enggak dihukum,” katanya.
“Kemarin kan rapat di Surabaya Polairud sana. Jadi polisi di sana bilang, ‘itu pak tidak bisa dihukum kalau kurang dari 1 tahun tidak boleh ditahan, dihukumpun tidak bisa.’ Nah itu keterbatasan sekarang, padahal sekarang banyak itu yang ngerusak laut itu,” imbuhnya.
Kepala Satuan (Kasat) Kepolisian Perairan dan Udara (Polairud) Polres Sampang, Catur Rahardjo menyampaikan, bahwa kalau kapal dibawah 10 Gros Tonnage (GT) itu termasuk nelayan Kecil, kalau sudah diatas 20 GT merupakan nelayan besar. Untuk nelayan kecil berbeda dengan nelayan besar, ada kebijakan sendiri dari pihaknya di pusat, juga dari bapak presiden tentang perlindungan nelayan kecil.
“Jadi kalau nelayan kecil itu melanggar, itu kita bina dulu dan juga dengan surat pernyataan. Tapi kalau mereka sudah membuat surat pernyataan dan melanggar, baru itu kita proses. Sedangkan untuk yang diatas 10 GT tetap diproses sebagaimana Proses hukumnya,” ucapnya.
Orang nomor 1 di Polairud Polres Sampang itu juga mengungkapkan Kalau yang di Kota Bahari sendiri, banyak nelayan pelanggar itu yang sudah pihaknya bina, termasuk itu yang Sarka mandangin. Sudah beberapa kali pihaknya amankan dan dikasih pembinaan, surat pernyataan, lalu pihaknya mengembalikannya lagi ke kediamannya masing-masing.
Namun dia menegaskan, kalau pihaknya sudah melakukan pembinaan dan mereka sudah membuat surat pernyataan, maka pihaknya tidak akan segan-segan memprosesnya sesuai dengan proses hukum yang berlaku.
“Kalau untuk nelayan kecil ada Undang-undangnya sendiri, sedangkan kalau untuk nelayan besar itu menggunakan Undang-undang Republik Indonesia Pasal 85 Nomor 45 tahun 2009,” pungkasnya. (san)