MADURANEWS.CO, Sampang- Sedikitnya 500 siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) putus sekolah sepanjang tahun ajaran (TA) 2020-2021. Hal yang sama juga terjadi di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan angka yang tidak jauh berbeda.
Kepala Cabang Dinas Pendidikan (Disdik) Jawa Timur Wilayah Sampang Ali Afandi mengatakan, saat ini angka putus sekolah di Kabupaten Sampang sangat tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Salah satu faktor yang menjadi penyebab tingginya putus sekolah tersebut adalah dangkalnya pemahaman wali siswa terhadap pembelajaran daring saat Pandemi Covid-19.
“Berdasarkan data yang ada ternyata dari tahun-tahun ini ada angka putus sekolah yang luar biasa. Menurut saya, angka putus sekolah yang luar biasa itu karena apa ya? Ketika saya telusuri itu satu ketika ada pembelajaran daring itu akhirnya orang tua itu anggap yang cowok itu di rumah saja tanpa belajar, kan belajarnya pakai HP itu dianggap tidak sekolah. (Akhirnya orang tuanya bilang) “Sudah cong kerja saja” diajak kerja saja. Yang putri juga demikian itu ada yang diajak kerja, ada yang nikah. (Makanya) angka putus sekolahnya meningkat itu di sana kalau di Sampang tahun 2020/2021. Jadi kendala di situ, jadi sampai saat ini masih seperti itu. Kalau untuk saat ini kita belum tahu di 2021/2022,” katanya.
Diejelaskannya, angka putus sekolah tingkat SMA mencapai 500 orang lebih. Begitupun dengan SMK, yang angkanya juga tidak jauh berbeda dengan SMA. Sedangkan untuk angka siswa yang mengulang tidak banyak seperti yang putus sekolah.
“Di SMA sekitaran lima ratusan (orang) sekarang, untuk SMK tidak beda jauh. Enggak banyak kalau mengulang, karena begini sekarang kalau penilai anak itu tergantung ke guru kan gitu. Jadi tidak banyak mengulang, tapi angka putus sekolah itu yang masih tinggi,” tambahnya.
Ke depan, Afandi berjanji akan melakukan pencatatan kembali terhadap faktor penyebab tingginya angka putus sekolah. Menurutnya, siswa yang ada di pondok pesantren adalah penyumbang angka tertinggi putus sekolah ketika Pandemi Covid-19 melanda. Dia berharap dengan telah diterapkannya pembelajaran tatap muka dapat menekan tingginya angka putus sekolah.
“Jadi, saya belum tahu tapi nanti saya juga akan melakukan pendataan ulang bagaimana angka putus sekolah itu sedemikian tinggi. Tapi berdasarkan laporan terakhir masuk ke saya dari kepala sekolah itu rata-rata seperti itu. Rata-rata mohon maaf ini karena di sini itu berbasiskan pondok ketika ada pandemi itu sama orang tuanya langsung diajak pulang,” ungkapnya.
“Ya kita berharap dengan (tahun) ajaran pembelajaran tatap muka yang sudah berjalan ini kita bisa meminimalisirkan (angka putus sekolah, red). Jadi, memang saat ini kondisinya kalau boleh dikatakan PPDB itu hampir sekolah-sekolah ini muridnya banyak beralih ke pondok. Karena orang sini, mohon maaf ini orang sini artinya orang tua itu (berprinsip) gini “nanti siapa yang mendoakan saya kalau nanti saya meninggal kalau tidak ditaruh di pondok,” tutur Afandi menjelaskan. (raf/lum)