Tantangan Guru Masa Kini: Antara Keselarasan Teladan dan Tuntutan Adaptasi di Era Teknologi AI

Oleh: Ahmad Mufid

SETIAP kali Hari Guru Nasional tiba, saya selalu teringat pesan Ki Hajar Dewantara yang tak pernah kehilangan relevansinya: “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Kalimat ini begitu sederhana, namun memuat harapan yang besar sekaligus beban yang tidak ringan. Guru diharap menjadi teladan, penggerak, dan penyokong bagi perjalanan belajar para murid. Namun, di balik semboyan itu, tersimpan kenyataan bahwa menjadi guru di masa kini memerlukan daya adaptasi yang jauh lebih besar dibanding generasi sebelumnya.

Guru hari ini hidup di masa ketika perubahan datang seperti hujan deras yang tak memberi jeda untuk berteduh. Teknologi bergerak cepat, kurikulum berubah, ekspektasi masyarakat meluas, sementara waktu justru terasa semakin sempit. “Education is not the filling of a pail, but the lighting of a fire”. Pendidikan bukanlah mengisi ember, tapi menyalakan api,” kata William Butler Yeats. Tantangannya: api yang hendak dinyalakan itu berada di tengah pusaran perubahan yang tak menunggu siapa pun. Maka guru ingin tidak ingin harus ikut bergerak.

Guru: Profesi Pembelajar Sepanjang Hayat

John Dewey pernah mengatakan, “If we teach today’s students as we taught yesterday’s, we rob them of tomorrow.” Jika kita mengajarkan siswa hari ini seperti kita mengajarkan siswa kemarin, kita merampas masa depan mereka. Kutipan ini tidak hanya menegur, tetapi sekaligus mengingatkan bahwa guru tidak boleh berhenti belajar. Bukan sekadar mengikuti pelatihan formal, tetapi terus membuka diri terhadap ide-ide baru, pendekatan baru, dan alat-alat baru.

Pada titik ini, pengembangan diri bukan lagi pilihan; ia adalah kebutuhan profesional sekaligus moral. Guru masa kini harus menjadi pembelajar sejati – yang tidak takut mencoba, tidak malu bertanya, dan tidak lelah memperbaiki diri. Guru yang terus memperkaya dirinya melalui membaca, berbagi praktik baik, mengikuti komunitas belajar, dan kini, memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) sebagai pendamping kerja.

Banyak guru yang khawatir bahwa AI akan menggantikan peran manusia. Kekhawatiran ini wajar, tetapi tidak sepenuhnya tepat. AI bisa membuat soal, menyusun RPP, membuat rubrik penilaian, hingga melakukan analisis data pembelajaran. Namun AI tidak bisa menggantikan empati, kehangatan, intuisi, dan nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi inti profesi guru.

Maria Montessori pernah berkata, “Education is a natural process carried out by the child and is not acquired by listening to words but by experiences.” Pendidikan merupakan suatu proses alamiah yang dilakukan oleh anak dan tidak diperoleh melalui mendengarkan perkataan melainkan melalui pengalaman. AI tidak bisa memberikan pengalaman belajar itu; AI hanya bisa menjadi alat. Yang mengubah hidup murid tetaplah guru – dengan keikhlasan, ketekunan, dan kasih yang mereka berikan.

Bagaimana jika kita melihat AI bukan sebagai saingan, tetapi sahabat kerja? Alat yang membantu guru bekerja lebih cepat, lebih rapi, dan lebih kreatif? AI yang membantu menyusun perangkat ajar agar guru punya lebih banyak waktu untuk “menyapa murid” – bukan hanya menyelesaikan administrasi?

Di Jepang, Ken Robinson pernah mengingatkan bahwa tugas kita bukan mencetak anak untuk dunia masa lalu, tetapi menyiapkan mereka menghadapi masa depan yang belum pernah kita lihat. Guru yang memanfaatkan AI justru sedang mencontohkan bagaimana adaptasi bekerja di dunia nyata.

Inilah esensi guru abad 21: bukan sekadar menyampaikan pengetahuan, tetapi menunjukkan bagaimana belajar itu sendiri berubah. Kita tidak mungkin berharap murid menjadi pembelajar sepanjang hayat jika gurunya sendiri berhenti belajar. Sebagaimana kata Nelson Mandela, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat anda gunakan untuk mengubah dunia. Namun senjata itu harus ditempa terus-menerus, dan tempaan itu dimulai dari guru itu sendiri.

Kembalinya Esensi: Guru sebagai Penenun Masa Depan

Dalam hiruk-pikuk perubahan, ada hal yang tidak boleh hilang: esensi profesi guru. UNESCO menyebut empat pilar pendidikan: learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together. Dan siapa yang paling bertanggung jawab menghidupkan pilar-pilar itu di ruang kelas? Guru.

Pekerjaan guru adalah pekerjaan jangka panjang. Hari ini mereka mengajar, mungkin tidak langsung melihat hasilnya. Namun beberapa tahun kemudian, ada seorang murid yang datang sambil berkata, “Terima kasih, guru. Karena Ibu/Bapak, saya berani bermimpi.” Itulah saat ketika seluruh lelah guru terasa berubah menjadi cahaya yang hangat.

Guru bekerja bukan hanya untuk capaian numerik atau administrasi. Guru bekerja untuk membentuk manusia. Dan itu lebih penting daripada apa pun. Dan, memang tidak mudah menjadi guru. Bahkan Paulo Freire mengakui bahwa pendidikan adalah tindakan keberanian. Ia menulis, “Education does not change the world. Education changes people. People change the world.” Pendidikan tidak mengubah dunia. Pendidikan mengubah manusia. Manusialah yang mengubah dunia. Maka guru sebenarnya adalah agen perubahan paling strategis. Namun menjadi agen perubahan berarti menanggung tantangan besar: mengajar dengan penuh kesabaran ketika situasi kelas tidak ideal, beradaptasi dengan kurikulum yang terus berkembang, tetap profesional di tengah beban administrasi yang tidak jarang menyita waktu, serta menyemangati murid ketika dirinya sendiri sedang letih.

Guru adalah profesi yang setiap harinya diuji oleh kehidupan. Tapi justru dalam ujian itulah karakter seorang guru tumbuh. Ada sebuah pepatah hebat yang sering dikutip John C. Maxwell: “A leader is one who knows the way, goes the way, and shows the way.” Seorang pemimpin adalah orang yang tahu jalannya, menempuh jalannya, dan menunjukkan jalannya. Guru adalah pemimpin dari ruang-ruang kecil yang suatu hari akan melahirkan perubahan besar.

Hari Guru Nasional: Guru, Tetaplah Menyala

Hari Guru Nasional bukan hanya momen seremonial, tetapi ruang refleksi: apakah kita sudah menjadi guru yang terus belajar? apakah kita telah membuka diri terhadap teknologi baru, termasuk AI? apakah kita sudah memberi energi positif kepada murid setiap hari? apakah kita telah menjadi teladan, bukan hanya pengajar? Guru yang hebat bukan guru yang sempurna. Guru yang hebat adalah guru yang terus bertumbuh, yang mau belajar hal baru, yang mau melompat keluar dari zona nyaman.

Seperti kata Ki Hajar Dewantara: “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.” Guru adalah profesi yang tak lekang oleh zaman. Justru semakin zaman berkembang, semakin penting kehadiran guru yang mampu menuntun manusia tetap menjadi manusia.

Pada akhirnya, dunia pendidikan membutuhkan guru yang bukan hanya bekerja, tetapi menyala. Guru yang tidak hanya mengajar, tetapi menginspirasi. Guru yang tidak sekadar memenuhi tuntutan kurikulum, tetapi menghadirkan harapan. Dalam era AI, teknologi akan semakin pintar. Tetapi selalu ada ruang yang hanya bisa diisi oleh hati manusia-dan itu adalah ruang ibu/bapak guru.

Selamat Hari Guru Nasional. Terima kasih, Guru. Semoga para guru Indonesia terus menjadi lentera yang tak padam dalam segala perubahan zaman. (*)

*) Penulis adalah Pejabat Fungsional Pendidik dan Tenaga Kependidikan PAUD dan PNF Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *