MADURANEWS.CO, Surabaya – Pemerintah siapkan upaya ekstra untuk pemenuhan energi Indonesia, dimana saat ini Indonesia berada di fase energy transition, yaitu peralihan dr fosil energy menuju green energy. Dan itu terjadi dalam waktu cepat, antara 5 – 10 Tahun.
Beberapa perusahaan energy besar dunia sudah melakukan langkah transisi untuk masuk ke green energy. Lalu bagaimana dengan eksplorasi sebagai awal dari kegiatan hulu migas.
Dalam energy transisi, di tahun 2030 pemakaian energi fosil masih dominan dalam bauran energi yaitu sekitar 40 persen, dan di 2050 sekitar 36 persen.
“Melihat hal itu, menunjukkan bahwa kebutuhan akan energi fosil masih dominan dan butuh upaya yang luar biasa untuk memenuhi kebutuhan tersebut”, kata Nanang Abdul Manaf, Tenaga Ahli Komisi Pengawas SKKMigas dalam keterangan tertulis, Selasa (23/02).
Lebih lanjut, Nanang menjelaskan bahwa Eksplorasi itu penting karena setiap Barel produksi minyak dimulai dari satu new field wildcat well. “Tanpa eksplorasi jangan berharap ada cadangan migas baru”, jelasnya.
Nanang menambahkan bahwa disadari atau tidak, Easy Oil Era sudah habis, dan kini industri hulu migas dihadapkan dengan tantangan, antara lain produksi migas terus turun; area eksplorasi berada di frontier area; waktu komersialisasi lenemuan eksplorasi terlalu lama; investor kurang tertarik utk eksplorasi di Indonesia; perlu upaya breakthrough untuk mempermudah investasi.
Investasi migas untuk eksplorasi membutuhkan biaya sangat besar. Bisa mencapai triliunan rupiah. Maka dari itu perlu fiscal terms yang aktraktif, regulasi dan politik yang stabil.
“Saat ini indonesia memiliki basin atau cekungan potensi migas sebanyak 128. Sebanyak 20 basin sudah berproduksi, 27 basin di bor dengan penemuan, kemudian 13 basin di bor tanpa penemuan dan sisanya 68 Basin belum di eksplorasi”, ujar Nanang Abdul Manaf.
Namun demikian, 70% cadangan migas berada di wilayah perairan. Tantangannya sangat besar salah satunya biaya yang dibutuhkan mencapai 80 – 100 Juta USD, dan tingkat pengembalian atau IRR rendah serta periode eksplorasi pendek.
Lead time atau waktu dari discovery ke produksi pertama di Indonesia antara 8 – 26 Tahun tergantung dari jenis lapangannya. Rata-rata Lead Time Indonesia sekitar 10,5 Tahun. “Tentunya kondisi tersebut yang mempengaruhi investor untuk melakukan eksplorasi di Indonesia”, kata Nanang.
Iklim investasi migas Indonesia menduduki peringkat terendah diantara negara asean. Maka dari itu, Kementerian ESDM menyiapkan strategi untuk meningkatkan daya tarik investasi eksplorasi migas, antara lain meningkatkan prospectivitas eksplorasi migas; meningkatkan iklim investasi melalui pendekatan fiskal; kepastian regulasi; serta stabilitas politik dan keamanan.
“Dengan strategi tersebut diharapkan Indonesia bisa keluar dari situasi kritis untuk peningkatan investasi untuk memenuhi gap kebutuhan energy Indonesia ditengah fase transisi energy menuju era green energy”, pungkas Nanang.
Sementara itu, sebagai salah satu perusahaan Kontraktor Kontrak Kerjasama yang mengupayakan energi fosil, Pertamina EP Asset 4 tetap berupaya memenuhi kebutuhan energi nasional, salah satunya dengan tetap melakukan aktifitas eksplorasi guna menjaga ketersediaan energi hingga puluhan tahun ke depan.
“Kami di Pertamina EP tetap optimis untuk ketersediaan energi Indonesia, dan kami komitmen untuk terus melakukan eksplorasi, salah satunya yang sedang disiapkan sumur Eksplorasi Kasuari Emas di wilayah Kabupaten Bojonegoro”, ujar Deddy Syam, Asset 4 General Manager PT Pertamina EP.
Deddy juga menambahkan bahwa melalui kegiatan eksplorasi tersebut membuahkan hasil temuan cadangan yang besar sehingga dapat memperpanjang masa energi fosil di Indonesia. “Dengan aktifitas eksplorasi, kami berharap pertamina akan sustain dan terus beroperasi memenuhi kebutuhan energi di Indonesia”, pungkas Deddy. (*/mnews)